Aku kira, dengan membuka luka-luka lama,
dengan membiarkanmu melihat bagian terdalam yang selama ini kututup rapat
aku sedang mengambil langkah besar dalam kepercayaan.
Aku pikir, memperlihatkan sisi paling rapuhku adalah tanda
bahwa aku sudah siap menjadikanmu tempat berpulang.
Karena buatku, itu bukan hal kecil.
Membiarkan seseorang melihat tangisku.
Menceritakan masa lalu yang menyakitkan.
Mengakui bahwa aku pun bisa takut, bisa lelah, bisa hancur.
Itu semua bukan tentang drama,
tapi tentang keberanian untuk jujur di hadapan seseorang yang kita percaya.
Tapi ternyata… kamu bukan orangnya.
Setelah semua kejujuran yang kuberi,
yang kudapat justru jarak.
Alih-alih digenggam, aku justru dibiarkan menggigil sendirian.
Alih-alih dipahami, aku justru membuatmu menjauh.
Aku pernah berharap kamu akan tetap tinggal setelah tahu semua bagian gelapku.
Bahwa kamu akan tetap menganggapku layak dicintai,
meski aku tidak sempurna.
Tapi tidak semua orang mampu mencintai seseorang secara utuh.
Ada yang hanya tertarik pada bagian bahagianya saja.
Ada yang hanya ingin kisahnya tanpa mau ikut menyeka air mata.
Dan itu tidak salah.
Tapi aku juga berhak merasa kecewa.
Karena aku sudah cukup berani membuka diri,
dan ternyata… kamu bukan yang mampu menjaganya.
Tapi sekarang aku tahu,
kelapangan hati bukan diukur dari siapa yang datang,
tapi dari siapa yang tetap tinggal saat kita tidak sedang baik-baik saja.
Dan pelan-pelan, aku belajar:
yang bisa menerima kelemahanku bukan yang membuatku merasa makin kecil,
tapi yang tetap melihatku utuh bahkan saat aku sedang rapuh.
Komentar
Posting Komentar